Kisah Mbok Yem dan Warung Tertinggi Di Indonesia


Hai sahabat, kali ini saya akan bercerita pengalaman mendaki Gunung Lawu, bukan soal rute perjalanan karena di tulisan sebelumnya saya sudah mengulas jalur gunung lawu secara detail. Jika sahabat penasaran tentang rute gunung lawu silahkan sahabat klik disini Sahabat. Saya kali ini akan bercerita pengalaman mendaki gunung lawu pada bulan maret 2009. Simak ceritanya yuk.

Bagi sahabat yang sudah pernah mendaki gunung lawu dan sampai ke puncak pasti tidak asing dengan adanya warung yang berada di puncak Gunung Lawu. Warung ini menjadi warung tertinggi yang berada di Gunung Lawu, mungkin bisa jadi warung tertinggi se Indonesia. Kalo mendengar kata Mbok Yem pasti sahabat pada bilang oh iya tau.. tau.. dan sahabat mempunyai opini-opini tentang Mbok Yem.

Sekilas saya menceritakan Mbok Yem yang mempunyai nama Wagiyem. Mbok Yem mendirikan sebuah warung pada tahun 1980 an, warung mbok yem di ketinggian 3105 mdpl yang berada di gunung lawu. Sebelum Mbok Yem membuka warung di gunung lawu beliau berjualan jamu selama lima tahun dan atas hasil jerih payah selama itu lantas Mbok Yem membuka warung yang berada di puncak Gunung Lawu.

Dalam satu tahun Mbok Yem akan turun Gunung Lawu satu tahun sekali yaitu pada saat lebaran Idul Fitri, warung beliau selain buat mencari nafkah juga sebagai tempat beristirahat mbok yem. Jaman pertama kali saya mendaki tahun 2008 sampai tahun 2011 saya tidak menemukan penjual yang berada di gunung. Satu-satunya warung yang pernah saya temui ketika mendaki gunung pada waktu itu cuma di Gunung Lawu, warung Mbok Yem.

Para penjual di gunung marak di tahun 2012, di mana banyak yang menjual makanan dan minuman di jalur pendakian, di karenakan di tahun 2012 sampai sekarang naik gunung menjadi sangat tren bagi kalangan anak muda di generasi milenial. Entah kenapa generasi milenial sekarang sangat mudah menilai sebuah kasus tanpa tahu asal usulnya yang di kejar di otaknya mungkin ketenaran.

Di bulan-bulan ini saya sangat resah ketika membaca sebuah postingan di sebuah sosial media yaitu di Instagram yang di post oleh @jejak_pendaki. Admin jejak_pendaki meng-capture post dari seseorang, seseorang beropini seperti gambar di bawah ini.


Pada tanggal 15 Agustus 2019 ada teman Jawa Timur menghubungi saya lewat telfon. Nama teman saya @Ateng, setelah basa basi lewat telfon menanyakan kabar ternyata dia sedang berada di basecamp cemoro sewu. Ateng memberitahu posisinya, berharap supaya saya bisa menemani mendaki gunung lawu. Berhubung saya di Jakarta saya tidak bisa ikut.

Berhubung ateng mau mendaki gunung lawu saya menitip pesan kepada ateng soal keresahan saya untuk mencari informasi dan menanyakan langsung kepada pemilik warung-warung, apakah benar yang di bicarakan postingan di atas benar seperti menebang pohon secara liar dan apakah yang di puncak gunung lawu cuma ada warung Mbok Yem atau ada yang lain?

Akhirnya kabar yang saya nantikan datang. Tepat pada tanggal 17 Agustus 2019 saya menerima kabar dari ateng setelah dia turun dari Gunung Lawu. Dia memberitau kepada saya ternyata penjual di gunung lawu tidak hanya Mbok Yem akan tetapi ada beberapa penjual juga. Perihal Pohon yang di tebang ternyata kata para pemilik warung bukan menebang sembarangan. Pemilik warung bilang pohon yang di tebang buat kayu bakar itu di ambil dari menebang pohon yang dalam kondisi mati atau mengambil ranting yang sudah jatuh.

Pesan saya buat sahabat, jangan pernah menilai sesuatu masalah tanpa kita mencari tahu langsung dan melihat dengan mata kepala kita sendiri inti masalah itu sendiri. Dengan memberitakan sesuatu di media tanpa survei langsung dan menanyakan langsung ke orang yang bersangkutan itu yang bikin banyak memicu perseteruan. Menurut saya pribadi orang seperti mbok yem itu tau bagaimana menjaga alam, beliau pasti tau mengambil sesuatu dari alam itu secukupnya tidak yang berlebihan.

Kenapa saya bisa menyimpulkan seperti itu? Karena pengalaman saya ketika saya ke suku baduy dalam dan menginap disana saya banyak melihat dan bertanya kepada suku pedalaman bagaimana cara mereka mengambil kayu bakar dia menjawab mengambil yang secukupnya. Mungkin kalo mbok yem di tanya seperti itu pasti jawabanya bakal sama. Menurut saya orang dahulu itu lebih pintar menjaga alam ketimbang orang-orang kota yang sok menilai A sampai Z padahal mungkin yang menilai A sampai Z baru main ke gunung lawu satu kali.

Yuk sahabat belajar berfikir positif dalam menilai sebuah permasalahan. Kalo benar mbok yem atau pedagang di gunung-gunung lain salah, alangkah baiknya kita sebagai orang generasi milenial yang berpendidikan tinggi itu harusnya memberikan pengarahan ketika orang salah bukan malah mencaci maki. Sekian dulu sahabat keresahan saya tuangkan di tulisan ini. Saya bukan membela mbok yem tapi saya merasa kasihan sama orang generasi milenial dalam berfikir.

Jangan banyak bicara kalo kalian belum melakukan. Jangan banyak menasehati kalo kalian belum bisa nasehatin diri kalian sendiri. Jangan banyak nuntut sebelum kalian bisa menerima tuntutan orang.

No comments:

Post a Comment